Selasa, 12 April 2011

Diktat Virologi==> Epidemiologi Infeksius Virus

BAB II
EPIDEMIOLOGI INFEKSI VIRUS

Epidemiologi adalah kajian mengenai penentu (determinan), dinamika dan penyebaran penyakit pada populasi. Resiko infeksi penyakit pada seekor hewan atau pada populasi hewan ditentukan oleh :
1. Sifat virus, misalnya keragaman antigenik
2. Inang dan populasi inang, misalnya kekebalan bawaan dan kekebalan perolehan.
3. Lingkungan dan ekologi.

Epidemiologi dapat dipandang sebagai bagian dari biologi lingkungan yang berusaha menggabungkan berbagai faktor itu menjadi satu kesatuan.

Kajian epidemiologi juga efektif untuk :
1. memastikan peran virus dalam etiologi penyakit
2. memahami interaksi virus dengan penentu lingkungan dari penyakit
3. menentukan faktor yang mempengaruhi kerentanan inang
4. memahami cara penularan virus
5. pengukuran skala besar dari vaksin dan obat.





2.1 Penggunaan Data dalam Epidemiologi

Tingkat Kejadian
Kejadian adalah ukuran dari frekuensi dalam suatu waktu. Misalnya tingkat kejadian bulanan atau tahunan dan sangat penting artinya untuk penyakit akut dalam waktu singkat.

Untuk infeksi akut, ada tiga parameter dalam menentukan tingkat kejadian infeksi:
1. Proporsi hewan yang rentan
2. Proporsi hewan rentan yang terinfeksi
3. Persentase hewan terinfeksi yang menjadi sakit

Proporsi hewan pada populasi yang rentan terhadap virus tertentu menunjukan riwayat pendedahan terdahulu terhadap virus dan jangka waktu imunitas. Proporsi hewan rentan yang terinfeksi selama setahun atau satu musim dapat sangat beragam, ditentukan oleh faktor seperti jumlah dan kerapatan, infeksi arbovirus dan populasi vektor. Dari jumlah hewan yang terinfeksi, hanya beberapa yang mudah diketahui .

Tingkat Kejadian = jumlah kasus x 10n
__________________ pada periode tertentu
Populasi yang riskan

Keterangan : 10n = 1000, 100.000, 1000.000, dst nya.


Prevalensi
Adalah gambaran kilat dari frekuensi suatu penyakit, yang berlaku pada suatu saat tertentu. Ini merupakan fungsi dari kejadian dan jangka waktu penyakit. Seroprevalensi berkaitan dengan proporsi hewan dalam populasi yang mempunyai antibodi terhadap virus tertentu. Karena antibodi penetral seringkali tetap ada sampai beberapa tahun, maka tingkat seroprevalensi dapat menunjukkan pengalaman kumulatif terpapar virus.

Tingkat Prevalensi = Jumlah kasus x 10n
___________________ pada saat tertentu
Populasi yang riskan

Tingkat Kematian
Kematian karena penyakit dapat dikatagorikan dalam dua bentuk :
1. Angka kematian spesifik-penyebab.
Jumlah kematian karena penyakit pada tahun tertentu, dibagi dengan keseluruhan populasi pada pertengahan tahun. Biasanya dinyatakan per 100.000.
2. Angka fatalitas-kasus.
Persentase hewan penderita penyakit tertentu yang mati karena penyakit itu sendiri.

2.2 Sumber Data
Sumber data dipengaruhi oleh :umur, jenis kelamin, genetik, status imun, gizi, dan berbagai parameter prilaku. Yang paling luas berpengaruh adalah umur, yang mana dapat mengacaukan status imunologi dan berbagai peubah fisiologi. Pengupulan data yang cermat tetang terjadinya penyakit adalah cukup sulit. Bahkan data untuk denominator, yaitu populasi keseluruhan seringkali tidak tersedia. Yang ada hanya informasi mengenai jumlah kasus.

2.3 Istilah – Istilah dalam Epidemiologi

Endemik
Pada hewan dipakai istilah enzootik, yaitu suatu penularan penyakit yang mengakibatkan terjadinya penyakit secara berkesinambungan pada populasi disuatu daerah terbatas selama periode waktu tertentu.

Epidemik
Pada hewan dipakai istilah epizootik, yaitu puncak dari kejadian penyakit yang melampaui batas endemik atau tingkat penyakit yang diperkirakan.

Besarnya puncak yang diperlukan untuk membentuk epizootik hanya berdasarkan perkiraan saja dan dikaitkan dengan latar belakang tingkat enzootik, seperti angka morbiditas (angka kesakitan) dan pengetahuan bahwa penyakit timbul karena tingkat keganasannya. Sebagai contoh penyakit Newcastle tipe velogenik pada unggas dapat dianggap sebagai enzootik, sedangkan sejumlah kecil kasus bronkitis menular tidak dianggap sebagai enzootik.

Pandemik
Pada hewan dipakai istilah panzootik, yaitu epizootik yang terjadi diseluruh dunia. Seperti panzootik parvovirus anjing yang terjadi diseluruh dunia diawal tahun 1980-an.

Masa Inkubasi
Adalah jangka waktu antara infeksi dgn mulai terjadinya gejala klinis penyakit. Pada banyak penyakit, sperti influenza unggas, masa inkubasi sangat singkat, kurang lebih hanya sehari akan muncul gejala klinis. Hewan yang terinfeksi akan mengeluarkan virus dan tetap menular dalam jangka waktu tertentu. Periode kemenularan (infektifitas), tergantung pada macam penyakitnya.
Infektifitas biasanya singkat pada penyakit akut dan sangat lama pada infeksi kronis. Sebagai contoh pada infeksi lentivirus seperti infeksi virus imunodefisiensi kucing, masa inkubasinya berlangsung sampai tahunan, tetapi hewan yang terinfeksi bersifat menular jauh sebelum munculnya gejala penyakit. Pada infeksi yang demikian, tingkat penularanya munkin rendah, tapi karena masa menularnya sedemikian lama, virus dengan mudah dipertahankan dalam populasi.

2.4 Tipe Penyidikan Epidemiologi

Penyidikan atas penyebab
Metode epidemiologi digunakan untuk menentukan kejadian dan prevalensi penyakit menular, hubunga antara penyebab dan pengaruh dan evaluasi atas faktor resiko penyakit yang meliputi kajian seksi – silang , kajian pengendalian kasus dan kajian prospektif (kohort).

Kajian seksi-silang
Dapat dilakukan dengan cepat dan menyajikan data tentang prevalensi penyakit tertentu pada populasi.

Kajian pengendalian kasus
Penyidikan dimulai setelah penyakit berjangkit dan diupayakan untuk mengidentifikasi penyebabnya. Jadi ini adalah kajian retrospektif. Keuntungan dari kajian retrospektif ini adalah dapat dimanfaatkannya data yang ada dan biaya pelaksanaanya murah.

Kajian prospektif
Penyidikan dimulai dengan adanya perkiraan penyebab penyakit dan populasi yang terpapar oleh virus. Penyebab yang diperkirakan itu dipantau untuk adanya bukti penyakit.

Tipe kajian ini memerlukan pembuatan data baru dan pemilihan kelompok kontrol yang semirip mungkin dengan kelompok terpapar, kecuali tidak ada kontak dengan virus penyebab yang diperkirakan itu.

Kajian prospektif, tidak menghasilkan analisis yang cepat, karena hasil harus diikuti sampai penyakit dapat diamati , seringkali dalam jangka waktu lama sehingga menyebabkan kajian ini mahal. Namun, bila kajian prospektif berhasil dengan baik, pembuktian hubungan penyebab dan pengaruhnya tidak dapat dibantah.
Kajian epidemiologi lain yang digunakan untuk mengetahui manfat vaksin atau obat, disebut kajian sentinel.

Kajian sentinel
Dapat digunakan untuk mempelajari secara luas prevalensi dari infeksi arbovirus. Bila digunakan untuk mengevalasi vaksin atau obat, kajian jangka panjang itu mempunyai keuntunan yaitu menyangkut semua peubah yang berpengaruh pada sitem peternakan secara keseluruhan.

2.5 Infeksi Menetap
Pada infeksi virus akan terjadi penyebaran virus baik secara local maupun secara sistemik. Perkembangan dan penyebaran virus akan mengakibatkan pentakit akut dan berakhir dengan kematian atau kesembuhan dengan musnahnya virus dari dalam tubuh. Tetapi beberapa virus dapat bertahan sampai beberapa bulan bahkan beberapa tahun yang dapat menyebabkan penyakit dikemudian hari misalnya, penyakit distember anjing. Herpes virus bahkan dapat mengakibatkan infeksi yang bertahan seumur hidup inveksi ini disebut dengan infeksi menetap.
Infeksi menetap akan mengakibatkan :
1. Berfungsi sebagai karier sehingga memungkinkan virus tetap ada dalam populasi walaupun dengan intekvititas yang rendah.
2. Infeksi dapat aktif kembali menjadi penyakit akut
3. dapat mengakibatkan penyakit imunopatologi
4. Dapat mengakibatkan neoplasma

Infeksi menetap dapat dikelompokan menjadi 3 kategori :
1. Infeksi laten
2. Infeksi kronis
3. Infeksi lambat
1. Infeksi Laten
Suatu infeksi dimana virus menular tiadk dapat diamati kecuali apabila terjadi pengaktifan kembali. Infeksi Laten biasanya terjadi setelah kesembuahn hewan dari suatu penyakit namun virus masih bertahan dalam beberapa organ tubuhnya.
Contohnya :
- Pada penyakit Rhinotracheitis sapi
Virion dari virus berpndah ke ganglion otak atau sumsum tulang belakang. Gerakan virus secara berkala diaktifkan kemabali dan kemudian virus menular terbentuk dan berpindah sepanjang saraf sensoris sampai mencapai membran mukosa hidung atau kulit dengan disertai pengeluaran virus
- Herpes virus
- Pseudorabies

2. Infeksi Kronis
Suaru kejadian dimana virus menular selalu dapat diamati dan sering kali dikeluarkan walaupun penyakitnya sendiri tidak dapat diamati.
Contoh penyakit virus yang bersifat kronis :
- Penyakit mulut dan kuku
- Demam babi Afrika
- Ensepalitis anjing setelah diserang distemper
- Virus korela babi

3. Infeksi Lambat
Adalah suatu infeksi virus menular yang secara berangsur-angsur meningkat selama fase praklinis yang sangat panjang dan pada akhirnya mengakibatkan penyakit yang mematikan.
Contoh :
- Infeksi lenti virus
- Ensepalopan virus spongioporm sub akut
















BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PENYAKIT VIRUS

Pengobatan pada ternak yang terinfeksi virus tidak memberikan hasil yang efektif. Pemberian antibiotika termasuk dosis tinggi juga tidak memberikan hasil yang baik, maka tindakan pencegahan menjadi prioritas utama. Pencegahan penyakit virus yang efektif pada hewan adalah melalui vaksinasi.

7.1 Vaksinasi
Adalah tindakan memasukkan bibit penyakit atau antigen yang sudah dilemahkan atau dimatikan virulensinya kedalam tubuh dengan tujuan menggertak tubuh agar secara aktif
membentuk zat kebal.

Vaksin
Adalah sediaan yang mengandung antigen (virus, bakteri dan protozoa), baik merupakan kuman mati ataupun hidup, yang dilumpuhkan virulensinya tanpa merusak potensi antigennya, dengan maksud untuk menimbulkan kekebalan aktif yang spesifik terhadap kuman atau toxinnya.

Ada dua jenis vaksin yang dikenal yaitu vaksin aktif dan vaksin inakif. Vaksin aktif yaitu vaksin yang mengandung virus hidup atau virus yang telah dilemahkan.Vaksin inaktif yaitu vaksin yang virusnya telah dimatikan.


VAKSIN AKTIF
• Mengandung virus hidup atau virus yang telah dilemahkan virulensinya
• Dibuat dengan pasase berulang-ulang pada telur ayam bertunas
• Setelah masuk kedalam tubuh, harus berkembangbiak dalam sel target, baru kemudian menggertak terbentuknya antibodi seperti halnya pada infeksi alam.
• Kekebalan yang terbentuk lebih cepat, tapi tidak bertahan lama, sehingga memerlukan vaksinasi ulangan.
• Umumnya berbentuk kering beku dan dapat diberikan secara massal melalui air minum,spray, tetes mata/tetes hidung/tetes mulut dan suntikkan

VAKSIN INAKTIF
• Mengandung virus mati yang telah dimatikan virulensinya
• Setelah masuk kedalam tubuh tidak perlu bereplikasi, tapi langsung menggertak terbentuknya antibodi.
• Di inaktifkan dengan penambahan Beta propiolakton (BPL), Asetil etilenimin (AEI) dan Etil etilenimin (EEI).
• Kekebalan yang terbentuk relatif lebih lama, tetapi kekebalan yang terbentuk bertahan lebih lama.
• Umumnya ditambahkan adjuvant, yaitu bahan tambahan yang mampu meningkatkan daya kerja mikroorganisme dalam vaksin dan juga berfungsi agar mikroorganisme dalam vaksin dilepaskan sedikit demi sedikit sehingga proses pembentukan antibodi lebih lama dan kekebalan yang terbentuk juga bertahan lebih lama.
• Biasanya berbentuk emulsi, dan diberikan melalui suntikan intramuskuler atau sub cutan.

Aplikasi Vaksin
1. Tetes mata / Tetes hidung
• Dilakukan pada unggas umur 1-4 hari
• Pelarut disediakan khusus bersama vaksin
• Dosis 1-2 tetes, intra oculer atau intra nasal
• Tidak mengandung maternal antibodi
• Menggertak kekebalan lokal (Ig A), pada saluran pernapasan atas.
• Kekebalan bertahan selama 3 minggu

2. Melalui Air Minum
• Air tidak boleh mengandung chlorine
• Ayam dipuasakan 2 – 3 jam
• Untuk memberikan hasil yang lebih baik, vaksin diberikan dalam 2 pase, dengan selang waktu 1- 2 jam.
• Diberikan pada ayam umur lebih dari 3 minggu, untuk ampul 1000 dosis, dilarutkan dengan 10-15 lt, sehingga tiap ekor mendapatkan 10 -15 ml.
• Untuk mencapai hasil yang lebih baik, perlu ditambahkan susu skim, dengan dosis 29 gram dalam 10 liter air.

3. Dengan Semprotan / Spray
• Gunakan automatic electric sprayer khusus
• Untuk kandang terbuka, dilakukan pagi hari (early morning), atau sesudah matahari terbenam (late evening)
• Dapat dilakukan pada unggas umur 1 hari keatas

4. Disuntikkan
• Dalam daging (intramuscular), dibawah kulit (sub cutan)
• Dosis sesuai dengan jumlah pelarut
• Dilakukan pada unggas umur 3 minggu keatas
• Pada hewan lain sesuai dengan, jenis hewan dan jenis vaksin

Catatan :
• Perlu diperhatikan sebelum dan sesudah vaksinasi dilakukan ” test Antibodi”
• Aplikasi diatas mempunyai keuntungan dan kerugian. Misalnya aplikasi melalui air minum dan spray, mempunyai keuntungan tidak usah menangkap ayam satu persatu, sehingga dapat menghindari cekaman/stress, tetapi kekurangannya dosis vaksin tidak merata untuk setiap individu.
• Sedangkan aplikasi melalui suntikan, dapat memberikan dosis vaksin dengan tepat, tetapi kekurangannya dapat menimbulkan cekaman sehingga mengganggu respon imun.

7.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Vaksinasi

1. Faktor vaksinnya
2. Faktor hewannya
3. Faktor Vaksinatornya



1. Faktor Vaksinnya
Untuk mengetahui mutu / kualitas vaksin perlu dilakukan uji vaksin seperti :
• Kevakuman
Kevakuman vial vaksin dapat diuji dengan electrotester coil dalam ruang gelap. Bila sinar ultra violet masuk kedalam vial, berarti vial vaksin vakum.
• Fisik
Dilakukan pemeriksaan warna, bau dan keutuhan vaksin yang dibeku keringkan (freese dried) serta daya larutnya dalam bahan pengencer.
• Sterilitas
Diuji dengan cara membiakkan vaksin yang telah diencerkan pada media blood agar dan Mc conkey agar dan setelah diinkubasikan 24 jam media diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya koloni kuman kontaminan.
• Identifikasi
Vaksin ditumbuhkan pada telur ayam berembrio, kemudian cairan alantoisnya diuji dengan uji HA dan selanjutnya diidentifikasi dengan uji HI menggunakan antisera .
• Kandungan Virus (Virus Content)
Kandungan virus dalam vaksin, dapat diketahui dengan cara menentukan Embrio Infective Doses 50 % (EID50) pada telur ayam berembrio dengan metode Reed dan Muench.
• Keamanan (Safety)
Dengan mengamati keadaan ayam-ayam yang telah divaksin, terhadap timbulnya gejala-gejala klinis.
• Potensi
Dengan memeriksa serum darah hewan yang telah divaksin, dengan uji HI untuk mengetahui adanya titer antibodi.

1. Faktor Hewannya
• Maternal antibodi
Vaksinasi pada hewan yang masih memiliki kekebalan asal vaksinasi sebelumnya / kekebalan bawaan (maternal antibodi) yang masih tinggi, tidak akan memberikan kekebalan yang sempurna karena akan terjadi netralisasi vaksin.

• Kondisi kesehatan ayam
Vaksinasi pada hewan yang terinfeksi parasit berat, stress, malnutrisi, sakit atau dalam masa inkubasi penyakit, akan mengganggu respon imun.
Bahkan vaksinasi akan memicu terjadinya gejala klinis, yang memang sudah terserang penyakit.

• Ganguan pembentukan kekebalan
Pertama karena ternak secara genetis tidak mampu membentuk kekebalan. Ke dua ternak sebenarnya mampu membentuk kekebalan, tapi proses pembentukan kekebalan tertekan. Gangguan ini terjadi karena adanya faktor immunosupressant. Immunosupressant adalah semua hal yang dapat menekan kerja sistem pertahanan tubuh sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Faktor-faktor penyebab immunosupressant ;
-Penyakit infeksius
Sebagian besar penyebabnya adalah virus. Misalnya Gumboro, Marek, Limphoid leukosis, Reticuloendotheliosis, Inclusion Body Hepatitis. Disebabkan oleh bakteri; E. Coli dan Koksidiosis.

-Tidak infeksius
Bisa terjadi karena : tatalaksana pemeliharaan yang jelek, stress, racun jamur yang sering terdapat pada ransum yang lembab, antibiotika yang bekerja mengganggu sintesa protein bakteri.

2. Faktor Vaksinatornya
Vaksinator harus memiliki dasar-dasar ilmu kedokteran hewan. Khususnya ilmu imunologi. Vaksinasi tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang. Vaksinator yang tidak memiliki dasar ilmu kedokteran hewan akan merusak program vaksinasi.
Vaksinator harus memahami cara :
- memilih vaksin
- mengangkut vaksin
- mencampur/melarutkan vaksin
- aplikasi vaksin
- dosis vaksin
- monitoring hasil vaksinasi
- mengetahui gejala klinis penyakit
BAB VIII
KEMOTERAPI INFEKSI VIRUS

Secara teoritis bahan-bahan penghambat pertumbuhan virus dapat bekerja dengan berbagai cara yaitu : melalui penghambatan adsorbsi dan penetrasi virus kedalam sel, penghambatan proses biosintesis, atau penghambatan proses perakitan dan pematangan virus.

Pembiakan virus tergantung pada metabolisme sel induk semang, jadi obat penghambat infeksi virus harus dapat menghambat proses biosintesis virus tanpa merusak sel, misalnya dengan cara merusak enzim yang spesifik virus yang hanya dibutuhkan oleh virus untuk pembiakannya.

Selain interferon, terdapat sejumlah bahan kimia yang menghambat multiplikasi virus dan dapat digunakan mengobati infeksi virus antara lain :

1. Amantadine ( Adamantanamine).
Bahan ini menghambat multiflikasi virus, seperti virus Influenza dan Rubella dengan cara mengganggu proses pelepasan asam inti virus (uncoating). Bila diberikan pada awal infeksi dapat menghambat infeksi virus.

2. Cyclooctylamine hydrochloride
Bahan ini memiliki sifat yang mirip dengan amantadine hydrochloride dan karena itu juga menghambat pertumbuhan virus-virus ARN.

3. Isoquinolines
In vitro bahan ini menghambat enzim neuraminidase yang terdapat pada permukan Myxovirus dan bereaksi dengan amplop virus sehingga menghambat ”uncoating” dan pelepasan ARN dari partikel virus.

4. Iododeoxyuridine (IUDR)
Senyawa halogen pirimidin telah lama diketahui menghambat sintesis asam inti sel jaringan dan virus dengan cara menghambat masuknya basa thymine ke dalam serabut ADN atau mengganti thyme dalam serabut ADN sehingga terbentuk serabut ADN palsu yang tidak berfungsi. IUDR biasanya bekerja pada tingkat akhir replikasi virus karena itu ia dapat juga menghambat daya keja enzim DNA-dependent RNA polymerase dam pembentukan messeger RNA (m-RNA) dengan akibat terbentuknya enzim yang tidak sempurna dan protein kapsid yang tidak lengkap. Dalam gambaran mikroskop elektron dari sel terinfeksi virus Herpes yang telah diberikan IUDR, terlihat banyak partikel virus yang kosong ditengahnya menujukan kemungkinan kesalahan dalam proses perakitan komponen-komponen virus. Disayangkan bahwa IUDR tidak dapat dipakai dalam pengobatan penyakit viral secara sistematik karena sangat toksik.
IUDR hanya dapat digunakan secara lokal pada pengobatan penyakit mata yang disebabkan oleh infeksi virus Herpes. Kegunaan IUDR semakin berkurang setelah diketahui adanya virus Herpes dan Vaksinia yang risisten terhadap IUDR.

5. Methisazone
Bahan ini disebut juga ”marboran”, telah terbukti berhasil mencegah timbulnya gejala penyakit Cacar pada orang yang berhubungan atau kontak dengan orang penderita Penyakit Cacar (Small Pox). Akan tetapi pada orang yang telah menunjukan gejala penyakit, marboran tidak bermanfaat karena sudah terlalu banyak sel jaringan yang rusak.

6. Aranotin
Bahan ini diperoleh dari jamur Arachniotus aureus, dapat menghambat replikasi virus Polio invitro dan invivo dengan hanya sedikit efek toksik terhadap sel mamalia. Bahan yang sama yang diperoleh dari Aspergillus terrens, menghambat multiplikasi virus Coxsackie, Parainfluensa tipe 1,2 dan 3 serta sejumlah anggota genus Rhinovirus. In vivo bahan ini melindungi tikus terhadap infeksi yang mematikan oleh virus Coxsackie dan Influensa.
Aranotin , dan menghambat ARN yang dihasilkan virus yaitu RNA-dependent RNA polymerase tanpa mengganggu enzim DNA dependent RNA polymerase yang terdapat pada sel normal.

7. Adenine arabinose (Ara-A)
Dalam biakan jaringan Ara-A menghambat pertumbuhan virus Herpes Hominis pada pemberian secara local atau tropical, dan secara sistemik dapat menghambat Ensefalitis dan virus Vaccinia atau Herpes Hominis. Bahan ini tidak berfungsi terhadap virus ARN.

8. Arabinose Cytosine (Ara-C)
Disamping dapat menyembuhkan keratitis oleh Herpes Simplex pada orang, bahan ini dapat menghambat perkembangan tumor pada manusia, tikus dan mencit.


DAFTAR PUSTAKA

1. Butter M. (1987) Animal cell Tecnology : Principles and Products. Open University Press, U.K.

2. Durham PJK (1988) Veterinary Serology – A Short Introductory Course. Prepared for Canadian International Development Agency.

3. Hitchner SB, Domermuth, C.H, Purchase, H.G and Williams (1980) Isolation and Identification of Avian Pathogens. The American Association of Avian Pathologis.

4. Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA, Root R, Studdert MJ and White DO, (1993). Veterinary Virology. Academic Press. California.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar